Demo Blog

BABLASNYA ETIKA BERDEMOKRASI DAN BERPOLITIK

by humaira institute on Nov.22, 2009, under


“Demonstrasi adalah suatu hal yang wajar dalam Berdemokrasi”

Paham demokrasi Indonesia pernah menganut azas demokrasi terpimpin (baca; Era Orde Baru) yang mampu meredam segala bentuk penghujatan dan pendiskriminasian terhadap negara dengan payung hukum Undang-undang Supersif.

Seiring waktu berjalan dengan perubahan-perubahan politik yang ada dan issue-issue KKN, DIKTATOR sehinggga menghantarkan Indonesia pada sistem demokrasi yang tidak bermartabat, faktanya sistem demokrasi terpimpin dapat menekan riak-riak diskriminatif terhadap negara dan mampu memberikan kenyamanan bagi masyarakat di bidang perekonomian dan keamanan walaupun terpasungnya hak-hak warga negara dalam berpolitik.

Benar!!! Reformasi yang terjadi sekarang membuka mata bangsa indonesia menjadikan sistem demokrasi secara luas dan mampu mengupas segala kebobrokan-kebobrokan yang dilakukan oleh penguasa meskipun sedikit menghilangkan norma-norma berdemokrasi.

Bablasnya ETIKA Berdemokrasi.
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan “Demonstrasi adalah suatu hal yang wajar dalam Berdemokrasi”, namun pernahkah kita renungkan arti yang sebenarnya?,. Demo-demo turun ke jalan adalah suatu hal yang wajar untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dari rasa ketidakadilan atau keterbukaan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh penguasa atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tetapi yang perlu ditekankan adalah bagaimana melakukan unjuk rasa itu sendiri tanpa adanya gesekan-gesekan atau perbuatan-perbuatan yang anarkis. Sejauh ini gerakan unjuk rasa (demo-demo ke jalan) sering terjadi pendiskriminatifan dan hujatan terhadap penguasa yang mengenyampingkan norma-norma yang ada sehingga menciptakan suatu keonaran dan kriminalitas.

Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah aktivis dan mahasiswa di Jakarta terkait kasus Bailout Bank Century beberapa bulan yang lalu sangat dramatis dan anarkis serta penghujatan terhadap penguasa (RI-1 dan RI-2) dengan menyamakan SBY (Presiden) dengan Si BuYa (seekor Kerbau), Boediono (Wakil Presiden) dengan Drakula, ini seharusnya tidak terjadi jika dilakukannya protes tersebut dengan tidak mengenyampingkan norma-norma demokrasi itu sendiri.

Bayangkan!!! Teks Pancasila saja; untuk cara penyebutan dan pembacaannya ada di atur dalam Undang-undang Dasar juga Lambang Negara (Burung Garuda) dan gambar Kepala Negara dan Wakil juga di atur dalam Undang-undang cara pemajangannya namun mengapa kita tidak dapat menjunjung tinggi aturan-aturan tersebut?

Dalam konteks yang ada sekarang para demonstans sepertinya banyak diarahkan (di tunggangi) oleh kepentingan-kepentingan pribadi oknum-oknum di belakang layar (Back Screen) dengan cara mengeluarkan issue-isue yang tidak objektif, ini sebenarnya yang sangat disayangkan dengan dasar kepentingan itu sehingga para demonstrans tidak menjadikan suatu kelompok yang independen.

Bablasnya ETIKA Berpolitik.
Untuk mencari suatu sudut pandang yang sama (menyatukan persepsi) dengan kendaraan yang berbeda (baca; partai politik -meskipun terbuka peluang dalam berkoalisi-) namun tidak semudah seperti membalikan telapak tangan disebabkan banyaknya pemikiran-pemikiran (intervensi) yang harus di akomodir dalam berkoalisi itu sendiri, dalam konteks ini partai-partai yang berkoalisi melakukan bargaining-bargaining politik untuk kepentingan partai dalam penyatuan persepsi dengan azas kebersamaan dan juga tidak tertutup kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan yang tidak bersinergi dalam koalisi itu sendiri sehinggga terjadinya manuver-manuver politik yang terjadi sekarang ini.

Dalam tubuh Pansus Angket Bank Century sudah terjadi manuver politik sehingga adanya partai terintimidasi dan tertekan dengan perilaku dari anggota yang dinilai keluar dari etika berkoalisi, dalam hal ini partai besar akan melakukan evaluasi terhadap partai-partai yang ikut dalam koalisinya yang akhirnya berujung pada issue reshuffle kabinet Indonesia Bersatu tahap ke-II, seharusnya partai yang tergabung dalam koalisi tetap menjaga komitmen koalisi itu sendiri dengan menghilangkan manuver-manuver politik yang terjadi sekarang ini.

Belakangan ini sering terdengar suara-suara reshuffle terus bergema dan dorongan untuk kearah itu tetap mencuat di beritakan di berbagai media massa, dorongan reshuffle ini dikarenakan adanya beberapa parpol yang berkoalisi dianggap tidak dapat diatur lagi.

Beberapa waktu lalu “SBY mengaku kecewa dengan etika Pansus Bank Century dalam menyelidiki aliran dana bailout”, (ini terindikasi menunjukkan adanya sikap ”Mendua” dari parpol koalisi) kekecewaan ini diucapkannya dalam rapat paripuna menteri yang membahas 100 hari kinerja pemerintah.

Akhirnya koalisi yang seharusnya menjadi pilihan alternatif untuk kesinambungan dalam mengambil kebijakan akan tetapi akhirnya menjai boomerang dalam koalisasi itu sendiri, sehingga tidak terjadinya singkronisasi dalam mengambil suatu kebijakan (efeknya terjadi perpecahan persepsi).

Pergeseran nilai politik sering terjadi disebabkan adanya ketidak transparansi dan ketidak kejujuran dalam berkoalisasi tersebut dan koalisi tersebut hanya dipakai sebagai kepentingan semu…… atau memang sudah menjadi karakter bangsa ini yang susah untuk disatukan….... whos know???

Bukankah kita memperjuangkan Negara Republik Indonesia menjadikan suatu bangsa yang Merdeka, Beretika dan Bermartabat?.........

(*) Penulis adalah Direktur humaira institute – Aceh Tamiang
0 komentar more...

0 komentar

Posting Komentar

Looking for something?

Use the form below to search the site:

Still not finding what you're looking for? Drop a comment on a post or contact us so we can take care of it!

free counters